THE ROOM
Cerita di bawah ini
tentang Brian Moore yang berusia 17 tahun, ditulis olehnya sebagai tugas
sekolah. Pokok bahasannya tentang sorga itu seperti apa. “Aku membuat
mereka terperangah,” kata Brian kepada ayahnya, Bruce. “Cerita itu bikin
heboh. Tulisan itu seperti sebuah bom saja. Itulah yang terbaik yang
pernah aku tulis.” Dan itu juga merupakan tulisannya yang terakhir.
Orangtua Brian telah melupakan esai yang ditulis Brian ini sampai seorang
saudara sepupu menemukannya ket ika ia membersihkan kotak loker milik
remaja itu di SMA Teays Valley, Pickaway County , Ohio .
Brian baru saja meninggal beberapa jam yang lalu, namun orangtuanya
mati-matian mencari setiap barang peninggalan Brian: surat-surat dari
teman-teman sekolah dan gurunya, dan PR-nya. Hanya dua bulan sebelumnya,
ia telah menulis sebuah esai tentang pertemuannya dengan Tuhan Yesus di
suatu ruang arsip yang penuh kartu-kartu yang isinya memerinci setiap
saat dalam kehidupan remaja itu. Tetapi baru setelah kematian Brian,
Bruce dan Beth, mengetahui bahwa anaknya telah menerangkan pandangannya
tentang sorga.
Tulisan itu menimbulkan suatu dampak besar sehingga orang-orang ingin
membag ika nnya. “Anda merasa seperti ada di sana ,” kata pak Bruce
Moore. Brian meninggal pada tanggal 27 Mei, 1997, satu hari setelah Hari
Pahlawan Amer ika Ser ika t. Ia sedang mengendarai mobilnya pulang ke
rumah dari rumah seorang teman ket ika mobil itu keluar jalur Jalan Bulen
Pierce di Pickaway County dan menabrak suatu tiang. Ia keluar dari
mobilnya yang ringsek tanpa cedera namun ia menginjak kabel listrik bawah
tanah dan kesetrum.
Keluarga Moore membingkai satu salinan esai yang ditulis Brian dan
menggantungkannya pada dinding di ruang keluarga mereka. “Aku pikir Tuhan
telah memakai Brian untuk menjelaskan suatu hal. Aku kira kita harus
menemukan makna dari tulisan itu dan memetik manfaat darinya,” kata
Nyonya Beth Moore tentang esai itu.
Nyonya Moore dan suaminya ingin membag ika n penglihatan anak mereka
tentang kehidupan setelah kematian. “Aku bahagia karena Brian. Aku tahu
dia telah ada di sorga. Aku tahu aku akan bertemu lagi dengannya.”
Inilah esai Brian yang berjudul “Ruangan”.
Di antara sadar dan mimpi, aku menemukan diriku di sebuah ruangan. Tidak
ada ciri yang mencolok di dalam ruangan ini kecuali dindingnya penuh
dengan kartu-kartu arsip yang kecil. Kartu-kartu arsip itu seperti yang
ada di perpustakaan yang isinya memuat judul buku menurut pengarangnya
atau topik buku menurut abjad.
Tetapi arsip-arsip ini, yang membentang dari dasar lantai ke atas sampai
ke langit-langit dan nampaknya tidak ada habis-habisnya di sekeliling
dinding itu, memiliki judul yang berbeda-beda..
Pada saat aku mendekati dinding arsip ini, arsip yang pertama kali
menarik perhatianku berjudul “Cewek-cewek yang Aku Suka”. Aku mulai
membuka arsip itu dan membuka kartu-kartu itu. Aku cepat-cepat
menutupnya, karena terkejut melihat semua nama-nama yang tertulis di
dalam arsip itu. Dan tanpa diberitahu siapapun, aku segera menyadari
dengan pasti aku ada dimana.
Ruangan tanpa kehidupan ini dengan kartu-kartu arsip yang kecil-kecil
merupakan sistem katalog bagi garis besar kehidupanku. Di sini tertulis
tindakan-tindakan setiap saat dalam kehidupanku, besar atau kecil, dengan
rincian yang tidak dapat dibandingkan dengan daya ingatku. Dengan
perasaan kagum dan ingin tahu, digabungkan dengan rasa ngeri, berkecamuk
di dalam diriku ket ika aku mulai membuka kartu-kartu arsip itu secara
acak, menyelidiki isi arsip ini. Beberapa arsip membawa sukacita dan
kenangan yang manis; yang lainnya membuat aku malu dan menyesal
sedemikian hebat sehingga aku melirik lewat bahu aku apakah ada orang
lain yang melihat arsip ini.
Arsip berjudul “Teman-Teman” ada di sebelah arsip yang bertanda
“Teman-teman yang Aku Khianati”. Judul arsip-arsip itu berkisar dari
hal-hal biasa yang membosankan sampai hal-hal yang aneh. “Buku-buku Yang
Aku Telah Baca”. “Dusta-dusta yang Aku Katakan”. “Penghiburan yang Aku
Ber ika n”.. “Lelucon yang Aku Tertawakan”. Beberapa judul ada yang sangat
tepat menjelaskan kekonyolannya: “Makian Buat Saudara-saudaraku” .
Arsip lain memuat judul yang sama sekali tak membuat aku tertawa:
“Hal-hal yang Aku Perbuat dalam Kemarahanku.” , “Gerutuanku terhadap
Orangtuaku”. Aku tak pernah berhenti dikejutkan oleh isi arsip-arsip ini.
Seringkali di sana ada lebih banyak lagi kartu arsip tentang suatu hal
daripada yang aku bayangkan. Kadang-kadang ada yang lebih sedikit dari
yang aku harapkan. Aku terpana melihat seluruh isi kehidupanku yang telah
aku jalani seperti yang direkam di dalam arsip ini.
Mungkinkah aku memiliki waktu untuk mengisi masing-masing arsip ini yang
berjumlah ribuan bahkan jutaan kartu? Namun setiap kartu arsip itu
menegaskan kenyataan itu. Setiap kartu itu tertulis dengan tulisan
tanganku sendiri. Setiap kartu itu ditanda-tangani dengan tanda tanganku
sendiri.
Ket ika aku menarik kartu arsip bertanda “Pertunjukan- pertunjukan TV
yang Aku Tonton”, aku menyadari bahwa arsip ini semakin bertambah memuat
isinya. Kartu-kartu arsip tentang acara TV yang kutonton itu disusun
dengan padat, dan setelah dua atau tiga yard, aku tak dapat menemukan
ujung arsip itu. Aku menutupnya, merasa malu, bukan karena kualitas
tontonan TV itu, tetapi karena betapa banyaknya waktu yang telah aku
habiskan di depan TV seperti yang ditunjukkan di dalam arsip ini.
Ket ika aku sampai pada arsip yang bertanda “Pikiran-Pikiran yang
Ngeres”, aku merasa merinding di sekujur tubuhku. Aku menarik arsip ini
hanya satu inci, tak mau melihat seberapa banyak isinya, dan menarik
sebuah kartu arsip. Aku terperangah melihat isinya yang lengkap dan
persis. Aku merasa mual mengetahui bahwa ada saat di hidupku yang pernah
memikirkan hal-hal kotor seperti yang dicatat di kartu itu. Aku merasa
marah.
Satu pikiran menguasai otakku: Tak ada seorangpun yang boleh melihat isi
kartu-kartu arsip in! Tak ada seorangpun yang boleh memasuki ruangan ini!
Aku harus menghancurkan arsip-arsip ini! Dengan mengamuk bagai orang gila
aku mengacak-acak dan melemparkan kartu-kartu arsip ini.. Tak peduli
berapa banyaknya kartu arsip ini, aku harus mengosongkannya dan
membakarnya. Namun pada saat aku mengambil dan menaruhnya di suatu sisi
dan menumpuknya di lantai, aku tak dapat menghancurkan satu kartupun. Aku
mulai menjadi putus asa dan menarik sebuah kartu arsip, hanya mendapati
bahwa kartu itu sekuat baja ket ika aku mencoba merobeknya. Merasa kalah
dan tak berdaya, aku mengembal ika n kartu arsip itu ke tempatnya. Sambil
menyandarkan kepalaku di dinding, aku mengeluarkan keluhan panjang yang
mengasihani diri sendiri.
Dan kemudian aku melihatnya. Kartu itu berjudul “Orang-orang yang Pernah
Aku Bag ika n Injil”. Kotak arsip ini lebih bercahaya dibandingkan kotak
arsip di sekitarnya, lebih baru, dan hampir kosong isinya. Aku tarik
kotak arsip ini dan sangat pendek, tidak lebih dari tiga inci panjangnya.
Aku dapat menghitung jumlah kartu-kartu itu dengan jari di satu tangan.
Dan kemudian mengalirlah air mataku. Aku mulai menangis. Sesenggukan
begitu dalam sehingga sampai terasa sakit. Rasa sakit itu menjalar dari
dalam perutku dan mengguncang seluruh tubuhku. Aku jatuh tersungkur,
berlutut, dan menangis. Aku menangis karena malu, dikuasai perasaan yang
memalukan karena perbuatanku. Jajaran kotak arsip ini membayang di antara
air mataku. Tak ada seorangpun yang boleh melihat ruangan ini, tak
seorangpun boleh.
Aku harus mengunci ruangan ini dan menyembuny ika n kuncinya. Namun ket
ika aku menghapus air mata ini, aku melihat Dia.
Oh, jangan! Jangan Dia! Jangan di sini. Oh, yang lain boleh asalkan
jangan Yesus! Aku memandang tanpa daya ket ika Ia mulai membuka
arsip-arsip itu dan membaca kartu-kartunya. Aku tak tahan melihat
bagaimana reaksi-Nya. Dan pada saat aku memberan ika n diri memandang
wajah-Nya, aku melihat dukacita yang lebih dalam dari pada dukacitaku. Ia
nampaknya dengan intuisi yang kuat mendapati kotak-kotak arsip yang
paling buruk.
Mengapa Ia harus membaca setiap arsip ini? Akhirnya Ia berbalik dan
memandangku dari seberang di ruangan itu. Ia memandangku dengan rasa iba
di mata-Nya. Namun itu rasa iba, bukan rasa marah terhadapku. Aku
menundukkan kepalaku, menutupi wajahku dengan tanganku, dan mulai
menangis lagi. Ia berjalan mendekat dan merangkulku. Ia seharusnya dapat
mengatakan banyak hal. Namun Ia tidak berkata sepatah katapun. Ia hanya
menangis bersamaku.
Kemudian Ia berdiri dan berjalan kembali ke arah dinding arsip-arsip.
Mulai dari ujung yang satu di ruangan itu, Ia mengambil satu arsip dan,
satu demi satu, mulai menandatangani nama-Nya di atas tanda tanganku pada
masing-masing kartu arsip. “Jangan!” seruku bergegas ke arah-Nya. Apa
yang dapat aku katakan hanyalah “Jangan, jangan!” ket ika aku merebut
kartu itu dari tangan-Nya. Nama-Nya jangan sampai ada di kartu-kartu
arsip itu. Namun demikian tanpa dapat kucegah, tertulis di semua kartu
itu nama-Nya dengan tinta merah, begitu jelas, dan begitu hidup. Nama
Yesus menutupi namaku. Kartu itu ditulisi dengan darah Yesus! Ia dengan
lembut mengambil kembali kartu-kartu arsip yang aku rebut tadi. Ia
tersenyum dengan sedih dan mulai menandatangani kartu-kartu itu. Aku kira
aku tidak akan pernah mengerti bagaimana Ia melakukannya dengan demikian
cepat, namun kemudian segera menyelesa ika n kartu terakhir dan berjalan
mendekatiku. Ia menaruh tangan-Nya di pundakku dan berkata, “Sudah
selesai!”
Aku bangkit berdiri, dan Ia menuntunku ke luar ruangan itu. Tidak ada
kunci di pintu ruangan itu. Masih ada kartu-kartu yang akan ditulis dalam
sisa kehidupanku.
“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah
mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya
kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yohanes
3:16)
J ika anda ingin meneruskan pesan ini kepada sebanyak mungkin orang-orang
sehingga kasih Tuhan Yesus akan menjamah hidup mereka, forwardlah email
ini! Arsip “Orang-Orang yang Aku Bag ika n Injil” milikku akan makin
bertambah besar, bagaimana dengan milik anda?
When you pour your heart into your job
7 years ago
No comments:
Post a Comment